Langsung ke konten utama

Menelaah dan Meneliti Kasus Sengketa Pertanahan dan adanya praktik-praktik ilegal dalam mendapatkan sertifikat SHM tanah di Kentingan Baru

Ditulis oleh : KPH.Danoewidjojo,SH,MH

Pembahasan diawali dengan isi didalam teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,yaitu : "...pemindahan kekoeasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkatsingkatnja...".
Dalam hal yang termaktub pada teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan terlebih lagi Pemerintah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunegaran (Pemerintah Swapraja) dimasukkan didalam Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan didalam Pemerintah Kota Surakarta ,dan sekarang hanya menjadi hanya sebatas cagar budaya saja,berakibat kekuasaan politik dan tanah-tanah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat maupun tanah-tanah Eigendom milik pribadi sentana/kerabat Raja Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pun,menjadi carut marut dan akhirnya dikuasai oleh Negara dan menjadi Tanah Negara (TN). Begitu pula yang terjadi pada warga yang dulu mendiami secara Magersari didalam wilayah kampus UNS dan juga Kentingan Baru mengalami tekanan dan teror issu PKI, sehingga mereka takut dan kabur meninggalkan hunian mereka.
Singkat cerita mereka pun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya,masih didalam wilayah Eigendom No.9 tahun 1882 di Desa Djebres yang atas nama Heer Koesen, akhirnya stelah tumbangnya Orde Baru yaitu sekitar tahun 1999,sebagian dari mereka (warga Magersari .red) bermukim di Kampung Gendingan yang diubah oleh warga Magersari (berdasarkan kesepakatan dengan Ahli waris Pemilik Eigendom),menjadi bernama Kampung Kentingan Baru.
Salah satu warga Magersari yang dulu ayahnya pernah mendapatkan tugas dari Pemilik Eigendom, mendengar bahwa ada isu bahwa Kentingan Baru tanah-tanahnya akan dipakai bagi-bagi oleh oknum-oknum pejabat, yang belakangan diketahui bahwa mereka (oknum-oknum pejabat .red) mendapatkan tanah-tanah tersebut oleh karena mereka beli pada PT.Bengawan Permai melalui mediator (calo atau mafia tanah yang bekerja sama dengan oknum Badan Pertanahan Nasional). Hal ini terbukti melalui pengakuan mereka ( dalam Replik mereka saat menggugat warga Magersari di Kentingan Baru, yaitu mereka mendapatkan tanah tersebut bukan dari pemberian negara,  dan merupakan tanah hasil tukar guling dengan tanah Satwa Taman Jurug pada sekitar tahun 80-an. Kronologinya demikian bahwa pada tahun 70-an Pemkot Surakarta ingin memindahkan satwa dari Taman Sriwedari ke Jurug dengan pengelolaan melalui investor,termasuk pembebasan tanah/kampung taman Jurug (mereka yaitu penggugat /pemegang sertifikat yang dalam hal ini adalah oknum-oknum pejabat dan pebisnis .red,mendapatkan tanah tersebut dengan cara membeli melalui PT.Bengawan Permai dan bukan melalui prosedural permohonan ke Badan Pertanahan Nasional,dengan menempati dahulu dan mempunyai girik atau letter c terlebih dahulu,namun melalui mafia tanah yang bekerjasama dengan oknum Badan Pertanahan Nasional). Namun karena dalam perjalanannya tidak menguntungkan, akhirnya investor dan Pt.Bengawan Permai minta kepada Pemkot untuk mengembalikan dana/saham pembebabasan tanah Jurug. Dan pada saat itu Pemkot tidak ada dana,maka Pemkot menukarnya dengan tanah Kentingan Baru.
Pernyataan diatas sangatlah janggal, sebagaimana menurut ketentuan hukum yang berlaku, seseorang yang hendak memiliki sebidang tanah dari Tanah Negara (TN) menjadi hak milik, syaratnya pemohon harus menguasai secara yuridis maupun fisik atas Tanah Negara (TN) yang akan dimohon menjadi hak milik tersebut, dan terbukti bahwa Replik dalam pokok perkara adalah didalam asal Persil disebutkan Pemberian hak tanah yang dikuasi langsung oleh Negara,dengan demikian tanah yang disengketakan adalah tanah negara dan bukan tanah milik Pemerintah Kota Surakarta, dengan ini pula tidak dimungkinkan adanya tukar guling dengan Pemerintah Kota Surakarta (baca pula pada : http://m.harianjogja.com/baca/2010/05/20/warga-geruduk-sidang-sengketa-tanah-kentingan-baru-22052), materi gugatan perkara nomor 04/Pdt.G/2010/PN.Ska itu terletak pada keberadaan sebidang tanah yang sudah terdapat hak milik bernomor 4263 seluas 396 meter persegi yang diklaim milik Sri Suryani di blok 8 kawasan Kentingan Baru.majelis hakim secara tegas menolak gugatan pemilik sertifikat tanah di Kentingan Baru, Sri Suryani saat dilangsungkannya sidang lanjutan sengketa tanah di Pengadilan Negeri (PN) Solo, Kamis 20/5/2010. Materi gugatan pemilik sertifikat dengan hak milik nomor 4263 dan seluas 396 meter persegi tersebut dinilai kurang pihak dan kurang lengkap.
“Dengan mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan di waktu sebelumnnya, akhirnya majelis hakim mengadili eksepsi terhadap enam warga tergugat dapat diterima. Sebaliknya, gugatan pihak penggugat tidak dapat diterima karena kurang sempuran. Untuk itu, penggungat dikenakan denda senilai Rp 966.000 atas masalah ini,” tegas Ketua Majelis Hakim, Sugeng B di sela-sela pembacaan vonis di PN Solo, Kamis 20/5/2010.
Dan menurut kuasa hukum penggugat, Sobirin mengakui adanya kekuranglengkapan materi gugatan.
Dalam hal ini pada sidang perkara nomor 04/Pdt.G/2010/PN.Ska di Pengadilan Negeri Surakarta dapat disimpulkan bahwa : materi gugatan Penggugat Sri Suryani kurang pihak dan kurang lengkap, oleh karena Penggugat Sri Suryani tidak bertempat tinggal dan berpenduduk di Kentingan Baru (di Jl.KH.Maskur atau Rt.03/Rw.16 Kelurahan Jebres Kecamatan Jebres,Kota Surakarta .red),tidak menguasai secara yuridis maupun fisik obyek tanah yang disengketakan, sebab Sri Suryani mendapatkan sertifikat secara ilegal atau tidak prosedural, karena jelas bahwa tanah negara tidak bisa ditukar guling,sehingga sertifikat itu cacat demi hukum,serta penuh rekayasa.
Kalau dari kacamata hukum Para Tergugat (warga Magersari .red) meenpati tanah sengketa tidak melawan hukum kepada Penggugat Sri Suryani dan tidak mempunyai kewajiban membayar ganti rugi kepada penggugat karena tanah sengketa adalah Tanah Negara (TN).
 Sehingga menelaah dari permasalahan diatas sangatlah jelas bahwa warga Magersari berhak mendapatkan haknya untuk mensertifikatkan tanahnya dan berhak pula mendapatkan status kependudukan yang jelas di Kentingan Baru, dengan mempunyai Rukun Tetangga (RT) tersendiri.
Ditambah pula warga Magersari adalah bagian dari masyarakat Adat dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dalam naungan Pemilik (Ahli waris) Eigendom No.9 tahun 1882 atas nama Heer Koesen di Desa Djebres (karena wilayah Kentingan Baru termasuk didalam wilayah Eigendom Desa Djebres,yang Eigendom itu luasnya 6.896.250 m2 .red),dan mereka warga Magersari tersebut telah mendapatkan Surat Hibah dari Pemilik (Ahli waris) Eigendom tersebut.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Relatie Heer Koesen of Colonel BKPH.Poerbodiningrat met de Oorsprong van Kampong Djebres naam die later in Desa Djebres veranderd in 1882 (Kaitannya Heer Koesen atau Kolonel BKPH.Poerbodiningrat dengan Asal Usul Nama Kampong Djebres yang nantinya berubah menjadi Desa Djebres pada tahun 1882)

Geschiedenis Kademangan Djebres, vóór 1825 , tot Heer Koesen eigenaar van Desa Djebres  jaar 1882 .  Er is een koninkrijk van het Pajang Sultanaat dat Koninkrijk is op Java als continuïteit van het Demak koninkrijk van Bintoro, een kort verhaal van het Sultanaat van Pajang op een dag vond er een opvolgingsgebeurtenis van Pajang's troon plaats tussen Pangeran Benawa of ook Pangeran Praboewidjojo die Ndalem Kepangeranan in Kampong Sala hebben (nu is de naam veranderd in Kademangan Djebres, Kampong Djebres en vervolgens Desa Djebres , dat zich in de buurt van de Campus UNS tot het subdistrict Jebres bevindt). Laweyan genoemd). En opvolging gewonnen door Ngabehi Loring Market of vaak Panembahan Senapati R, Danang Sutowidjojo. Er wordt gezegd dat in Kampong Sala of Kademangan Sala dit de plaats is van zijn basiskamp Soldiers Telik Sandi (intelligence .red) Pajang Sultanate tot de era Mataram Islam Kuta Gede vervolgens Mataram in Karta veranderde, daarna veranderde in

Het geschil van de agrarische wetgeving in Indonesië dat van invloed is op de zaak van het landgeschil Gevallen die hebben plaatsgevonden tussen de regering en de kleine mensen (zoals de rechtszaak over landgeschillen in Kentingan Baru, Surakarta)

Landrechtelijk beleid in Indonesië van tijd tot tijd   Geschreven door: Dr.KPH.Adip.Praboewidjojo, SH, MH   1. Agrarisch beleid • Agrarisch beleid in Indonesië kan niet los worden gezien van de geschiedenis van de Indonesische natie. Daarom wordt bij de presentatie van het agrarisch beleid gebruik gemaakt van een chronologische benadering met opsporing uit de Nederlandse koloniale periode in Indonesië. Om begrip mogelijk te maken, wordt de blootstelling verdeeld volgens de periode na de politieke veranderingen die plaatsvinden in de geschiedenis van onze natie, aangezien beleid een politiek product is.   2. Koloniale periode • In de dagen van de Nederlandse koloniale overheid werd het agrarische beleid geïntroduceerd dat bekend staat als Agrarische Wet 1870 in Nederlands-Indië. De landbouwwet van 1870 opende toen de deur voor de toetreding van groot buitenlands privaat kapitaal, met name Nederland tot Indonesië, en een groot aantal grote landgoederen in Java en Sumatera wer