Oleh : Dr.KPH.Adip.Praboewidjojo,SH,MH
Rancangan Undang-undang tentang Agraria Nasional yang berhasil disusun pada periode 1945-1959, diadakan penyesuaian dengan konstitusi dan konfigurasi politik yang baru yakni UU No. 5 Tahun 1960. UUPA adalah UU yang sangat responsif karena merombak seluruh sistem yang dianut di dalam Agrarische Wet (AW) 1870 dan semua peraturan pelaksanaannya. Masalah-masalah mendasar dalam hukum agraria lama yang dihapus oleh UUPA meliputi domeinverklaring, feodalisme dan hak konversi dalam hukum tanah, serta dualisme hukum. UUPA menegaskan adanya fungsi sosial bagi setiap hak milik atas tanah. Selanjutnya UUPA dapat dilihat sebagai awal pembaharuan dan perkembangan hukum di Indonesia, yang bersandarkan Hukum Adat sebagai landasan pembangunan dan sebagai induk dari landreform Indonesia.
Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan dengan mengeluarkan peraturan mengenai redistribusi tanah sesuai UU No.56 Prp Tahun 1960. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak dari pada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
“Landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah”. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba.
Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar PP No.10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagibagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang menginginkan tanah maupun tuan tanah. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah UU No.21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
Periode Orde Lama, hukum pertanahan didorong untuk lebih mengutamakan terciptanya keadilan komutatif dengan memberikan fasilitas dan kemudahan menguasai/memiliki tanah kepada kelompok mayoritas yang lemah, seperti petani tidak bertanah atau bertanah sempit, petani penggarap, petani yang menduduki tanah perkebunan serta koperasi sebagai organisasi yang dibentuk oleh kelompok tersebut. “Selain itu agar ada keadilan korektif yaitu dengan memberikan fasilitas dan kemudahan kepada kelompok mayoritas yang pada periode sebelumnya terabaikan dalam kebijakan pertanahan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awal pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena:
Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform.
Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama. Akan halnya hasil dari program landreform masa orde lama adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini dicanangkan
pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445
hektar. Meskipun UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) ini diproduk di dalam konfigurasi politik yang otoriter (demokratis terpimpin) tetapi UU ini tetap berkarakter sangat responsif karena empat alasan:
rancangan UU tersebut merupakan warisan periode sebelumnya yang dirumuskan oleh berbagai panitia perancangan;
materi UU tersebut merupakan pembalikan total terhadap UU yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga pasti diterima oleh setiap pemerintah nasional;
materi UU tersebut tidak menyangkut distribusi kekuasaan politik (gezagverbouding) sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu posisi pemegang kekuasaan politik yang dominan;
UUPA memuat dua bidang hukum sekaligus yaitu hukum publik dan hukum perdata.
Seperti dikemukakan di atas pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum secara lebih signifikan akan mengena pada bidang hukum publik yang menyangkut gezagverbouding.
Rancangan Undang-undang tentang Agraria Nasional yang berhasil disusun pada periode 1945-1959, diadakan penyesuaian dengan konstitusi dan konfigurasi politik yang baru yakni UU No. 5 Tahun 1960. UUPA adalah UU yang sangat responsif karena merombak seluruh sistem yang dianut di dalam Agrarische Wet (AW) 1870 dan semua peraturan pelaksanaannya. Masalah-masalah mendasar dalam hukum agraria lama yang dihapus oleh UUPA meliputi domeinverklaring, feodalisme dan hak konversi dalam hukum tanah, serta dualisme hukum. UUPA menegaskan adanya fungsi sosial bagi setiap hak milik atas tanah. Selanjutnya UUPA dapat dilihat sebagai awal pembaharuan dan perkembangan hukum di Indonesia, yang bersandarkan Hukum Adat sebagai landasan pembangunan dan sebagai induk dari landreform Indonesia.
Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan dengan mengeluarkan peraturan mengenai redistribusi tanah sesuai UU No.56 Prp Tahun 1960. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak dari pada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
“Landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah”. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba.
Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar PP No.10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagibagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang menginginkan tanah maupun tuan tanah. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah UU No.21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
Periode Orde Lama, hukum pertanahan didorong untuk lebih mengutamakan terciptanya keadilan komutatif dengan memberikan fasilitas dan kemudahan menguasai/memiliki tanah kepada kelompok mayoritas yang lemah, seperti petani tidak bertanah atau bertanah sempit, petani penggarap, petani yang menduduki tanah perkebunan serta koperasi sebagai organisasi yang dibentuk oleh kelompok tersebut. “Selain itu agar ada keadilan korektif yaitu dengan memberikan fasilitas dan kemudahan kepada kelompok mayoritas yang pada periode sebelumnya terabaikan dalam kebijakan pertanahan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awal pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena:
Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform.
Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama. Akan halnya hasil dari program landreform masa orde lama adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini dicanangkan
pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445
hektar. Meskipun UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) ini diproduk di dalam konfigurasi politik yang otoriter (demokratis terpimpin) tetapi UU ini tetap berkarakter sangat responsif karena empat alasan:
rancangan UU tersebut merupakan warisan periode sebelumnya yang dirumuskan oleh berbagai panitia perancangan;
materi UU tersebut merupakan pembalikan total terhadap UU yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga pasti diterima oleh setiap pemerintah nasional;
materi UU tersebut tidak menyangkut distribusi kekuasaan politik (gezagverbouding) sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu posisi pemegang kekuasaan politik yang dominan;
UUPA memuat dua bidang hukum sekaligus yaitu hukum publik dan hukum perdata.
Seperti dikemukakan di atas pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum secara lebih signifikan akan mengena pada bidang hukum publik yang menyangkut gezagverbouding.
Komentar
Posting Komentar