Langsung ke konten utama

Kajian Pakar Bapak Dr. Musni Umar : Kemiskinan dan Politik (Bagian ke 6) Menuju Tanah untuk Kaum Dhuafa


Dr. Musni Umar: Kemiskinan dan Politik (Bagian ke 6)
Dr. Musni Umar, Cell.: +6281310710153, E-mail: musni2005@yahoo.com


baca juga di :https://musniumar.wordpress.com/2011/03/19/dr-musni-umar-kemiskinan-dan-politik-bagian-ke-6/https://musniumar.wordpress.com/2011/03/19/dr-musni-umar-kemiskinan-dan-politik-bagian-ke-6/

Kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia dan masyarakat Solo pada khususnya, bukanlah takdir (nasib). Ia dapat dihilangkan atau diberantas. Masalahnya, sistem ekonomi kapitalis – liberal yang dijalankan, di mana ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, kekayaan alam Indonesia hampir seluruhnya dikuasai asing dan segelintir orang Indonesia, serta terjerat utang dalam jumlah yang sangat besar, telah menempatkan pemerintah pada posisi tidak berdaya. Bukti ketidak-berdayaan pemerintah ialah gagal meredam kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako). Akibatnya, harga-harga barang tidak terkendali harganya, sehingga semakin banyak rakyat yang jatuh miskin, tidak bisa menyekolahkan anak, penyakitan, kekurangan gizi, dan sebagainya. Sistem ekonomi kapitalis yang dijalankan telah mengerangkeng pemerintah, sehingga takluk kepada doktrin pasar bebas. Dianggap dosa mencampuri mekanisme pasar, pada hal pasar bebas tidak otomatis menjamin wujudnya kompetisi yang jujur dan adil. Juga tidak otomatis harga barang turun karena ada kartel di antara para pengusaha. Untuk bisa menjalankan fungsi dan peran pemerintah secara maksimal dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka sistem ekonomi kapitalis – liberal harus dikembalikan kepada sistem ekonomi kekeluargaan yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945, dimana pemerintah mengendalikan pasar, bukan sebaliknya pasar bebas yang mengendalikan pemerintah. Sistem ekonomi kapitalis – liberal, yang menafikan peran pemerintah untuk mengatur ekonomi, harus dikoreksi sehingga pemerintah memiliki kekuatan untuk mengatur ekonomi dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Pada saat yang sama, ditumbuhkan kesadaran, kemauan, kepercayaan diri dan semangat penyelenggara negara dan orang-orang miskin bahwa masalah kemiskinan bisa diberantas. Paralel dengan upaya perubahan sistem ekonomi, dan perubahan sistem budaya masyarakat miskin, maka berbagai program pembangunan untuk mengentaskan orang-orang miskin, dilaksanakan secara berkesinambungan, pelaksanaannya diawasi, dan dievaluasi kemajuannya setiap tahun. Untuk mengetahui lokasi pemukiman orang-orang miskin di Solo, berikut ini dikemukakan gambar di bawah ini. Gambar 6.1 Lokasi pemukiman orang-orang miskin di Kentingan Baru, Kecamatan Jebres, Solo Menurut Wiwiek Tri Setioningsih, Ketua Rukun Warga Kentingan Baru bahwa lokasi yang ditempati sekitar 300 kepala keluarga dari orang-orang miskin kota Surakarta adalah seluas 4 hektar yang terdiri dari delapan blok. Ia merupakan tanah pemerintah daerah Surakarta yang dimiliki dan dikuasai secara KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) oleh para mantan pejabat daerah di era Orde Baru, dan selama puluhan tahun tidak difungsikan. Krisis keuangan pertengahan 1997 yang kemudian berlanjut krisis ekonomi telah melahirkan gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Pada masa itu, orang-orang miskin di Solo amat merasakan penderitaan akibat kemerosotan ekonomi. Dalam situasi kacau balau (chaos), mereka mencari tempat tinggal untuk bernaung. Mereka menemukan tanah kosong di sebelah timur Universitas Sebelas Maret (UNS), kemudian mereka menempatinya, lalu membangun rumah sederhana sebagai tempat tinggal.2 Menurut Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 dan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1988, bahwa lokasi itu tidak dibolehkan untuk mendirikan bangunan dan menggunakannya tanpa izin Pemerintah Kota, karena merupakan tanah milik pemerintah. Akan tetapi, orang-orang miskin di Solo dapat menguasai dan membangun bangunan di lokasi itu, karena lokasi itu tidak difungsikan. Mereka juga mengetahui bahwa pemiliknya bukan lagi pemerintah daerah, tetapi sudah berpindah tangan kepada para mantan pejabat pemerintah kota Surakarta melalui praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Berikut ini pengumuman yang dipasang pemerintah kota Surakarta mengenai larangan membangun di lokasi tersebut. Gambar 6.2 Pengumuman yang melarang mendirikan bangunan Pemilihan umum parlemen 1999 di Solo misalnya, yang dimenangi secara mutlak oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), telah memberi keuntungan secara politik kepada orang-orang miskin yang menempati lokasi di Kentingan Baru, karena mereka mayoritas adalah penyokong PDI-P. Para pemimpin dan kader PDI-P yang dilantik menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta, mau tidak mau memberi perlindungan kepada mereka, walau pun perlindungan yang diberikan tidak resmi. Pada awal tahun 2000, anggota DPRD Kota Surakarta berhasil memilih Slamet Suryanto, menjadi Walikota Surakarta. Sebagai Walikota sekaligus pemimpin PDI-P, tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberi perlindungan kepada para penyokongnya yang telah berjasa itu. Mereka memperoleh listrik secara bersama-sama, dan tidak ada lagi polisi atau pejabat pemerintah yang mengganggu serta mempersoalkan status tanah yang mereka tempati. 3 Walau pun begitu, tidak otomatis status kependudukan mereka yang bermukim dilokasi itu dan tanah yang ditempati mendapat penyelesaian. Walikota Slamet Suryanto, dan para kader PDI-P di DPRD kota Surakarta, secara tidak resmi memberi perlindungan dan keamanan bagi mereka untuk menempati lokasi itu, tetapi status mereka dan tanah yang ditempati seolah diambangkan (diapungkan). Pada awal 2005, Walikota Slamet Suryanto selesai masa kerjanya, dan sesuai Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan Walikota/Wakil Walikota yang baru dilaksanakan secara langsung oleh rakyat yang memenuhi syarat. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) melakukan berbagai proses persiapan, diantaranya penjaringan calon Walikota/Wakil Walikota Surakarta daripada usulan partai-partai politik di Surakarta, akhirnya muncul empat calon Walikota/Wakil Walikota. Gambar 6.3 Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta (Photo 23 Mei 2006) Pada masa kampanye pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta, Kentingan Baru menjadi pusat pertarungan keempat pasangan calon Walikota/Wakil Walikota. Menurut Wiwiek Tri Setioningsih, Ketua Rukun Warga, ia terpaksa bekerjasama dengan keempat-empat calon Walikota/Wakil Walikota, tetapi sebagai kader PDI-P ia tetap berusaha memenangkan calon Walikota/Wakil Walikota daripada PDI-P.3 Tabel 6.1 Calon Walikota/Wakil Walikota Surakarta Pilkada 27 Jun 2005 No NAMA CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA PEROLEHAN SUARA UNTUK PASANGAN CALON JUMLAH AKHIR LAWEYAN SERENGAN PASAR KLIWON JEBRES BANJAR SARI 1 Joko Widodo dan FX. Hadi Rudyatmo 14,426 9,562 12,846 29,686 33,441 99,961 2 Slamet Suryanto dan Henky Narto Sabdo 2,482 1,209 3,416 3,411 3,793 14,311 3 Achmad Purnomo dan Istar Yuliadi 15,871 7,868 14,613 17,991 22,943 79,286 4 Hardono dan GPH.Dipokusumo 13,747 7,406 12,337 19,304 26,253 79,047 JUMLAH PEROLEHAN SUARA SAH 46,526 26,045 43,212 70,392 86,430 272,605 Sumber: KPUD kota Surakarta, Mewujudkan Pilkada Demokratis, Dokumentasi Pilkada kota Surakarta 27 Juni 2005. Pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta yang untuk pertama kali dilaksanakan secara langsung oleh rakyat Solo yang memenuhi syarat, dimenangi pasangan Joko Widodo dengan FX. Hadi Rudyatmo, yang dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan memperoleh dukungan terbanyak sebesar 99,961 suara, sehingga keduanya dilantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Surakarta masa kerja 2005-2010. Kemenangan Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta, adalah juga kemenangan mereka.4 Mereka menyokong dan memilih calon PDI-P, karena mereka dijanjikan kalau pasangan calon itu menang dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta, keduanya akan menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Akan tetapi, sudah satu tahun lebih dilantik menjadi Walikota/Wakil Walikota Surakarta, kasus yang dihadapi orang-orang miskin yang bermukim di Kentingan Baru, belum ada tanda-tanda mau diselesaikan. Walaupun begitu, dalam pemilukada 2010 di Solo, pasangan Joko Widodo – FX Hadi Rudyatmo (Jo-Dy) yang diusung PDIP berkoalisi dengan PKS dan PAN, serta didukung 14 partai lainnya, melawan Eddy Wirobuhumi dan Supradi Kertamenawi (Wi-Di) yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar serta Hanura, pasangan incumbent (petahana) menang Mutlak. Jo-Dy meraih 236.234 suara (89,96 persen), sedangkan Wi-Di meraih 26.368 suara (10,04 persen) (http://www.sinarharapan.co.id/berita/read/jokowi-rudy menang mutlak) Kemenangan secara mutlak pasangan incumbent ini, paling tidak dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, masyarakat menilai bahwa kedua pasangan ini berhasil mengemban amanat rakyat Solo selama lima tahun menjalankan pemerintahan, sehingga rakyat berketetapan hati memberi kesempatan kedua kalinya untuk memimpin Solo. Kedua, rakyat Solo yang mayoritas aliran politiknya ”Marhaenisme” yang diajarkan oleh Bung Karno, yang kini direpresentasikan oleh PDIP, solid mendukung kepemimpinan Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo, sehingga keduanya mendulang kemenangan yang amat besar dalam pemilukada di Solo. 6.1 Permasalahan ekonomi Permasalahan utama yang dihadapi masyarakat, terutama di Kentingan Baru yang ditempati oleh kumpulan orang-orang miskin adalah permasalahan ekonomi yang semakin susah. Semua warga Kentingan Baru, kecuali Wiwiek Tri Setioningsih yang diwawancara oleh penulis mengatakan bahwa kehidupan ekonomi mereka di era Orde Reformasi terutama di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla amat sulit, karena berbagai jenis bahan keperluan sehari-hari harganya terus mengalami kenaikan. Selain itu, nilai uang merosot dan sukar mendapatkannya sebab tidak ada lapangan pekerjaan. Untuk mendapat gambaran tentang kesusahan ekonomi yang dialami orang-orang miskin yang diwawancara, berikut ini dikemukakan pendapat mereka antara lain; Tuti, ibu rumah tangga, 40 tahun, bermukim di Blok I, Kentingan Baru, mempunyai tiga orang anak mengatakan bahwa ia terpaksa ikut menjual minyak tanah di rumah untuk membantu menambah penghasilan suami. Penghasilannya amat kecil hanya sekitar Rp 15,000/hari, pada hal biaya angkutan umum, dan semua jenis bahan makanan terutama beras mengalami kenaikan. Ia berkata: “keadaan ekonomi susah, apa-apa naik, semua bahan pokok naik”.5 Gambar: Orang-orang miskin dan putra-putri mereka terus menderita kemiskinan sepanjang masa Tukiman, 60 tahun, bermukim di Blok 7, Kentingan Baru, penjaja makanan, mengatakan bahwa penghasilannya rata-rata setiap hari Rp 10,000/hari. Kadang-kadang ia mengalami kerugian, pada hal berbagai jenis keperluan sehari-hari naik, sehingga ia merasa mau putus asa dalam hidup ini. Untuk menambah penghasilan, ia mencoba menitip jualannya ke beberapa tempat, tetapi daya beli masyarakat lemah sehingga yang terjual hanya sedikit.6 Dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta 2005, ia ikut kampanye di lapangan dalam upaya menambah penghasilan, tetapi hanya dibayar Rp 5,000 sekali ikut kampanye. Harapannya sebagai orang kecil ialah “apa-apa gampang dan murah”. 7 Gambar 6.4 Tukiman (kiri) dan Sastro (kanan). Keduanya bagian dari komunitas miskin di Solo. Berfoto usai wawancara di depan rumah Sastro (27 Mei 2006) Parjo, 56 tahun, bermukim di Blok 8, Kentingan Baru, pekerjaan menganggur, sebelumnya pengayuh becak, mengatakan bahwa ia terpaksa berhenti sebagai pengayuh becak, karena sukar mendapat penumpang, kadang-kadang dua hari tidak mendapat penumpang, sehingga ia memutuskan berhenti menjadi pengayuh becak dan mencari pekerjaan lain. Isterinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 12,000/hari, tetapi penghasilan sebesar itu jauh dari mencukupi, dengan lima orang anak. Oleh karena itu, anak-anaknya ikut bekerja apa saja yang dapat memberi penghasilan tambahan untuk membantu keluarga. Ia mangaku setiap hari hanya makan dua kali, yaitu pagi dan malam. Ia menyesali pemerintahan SBY/JK yang gagal memperbaiki ekonomi. Ia mau bekerja apa saja, tetapi sukar mendapat pekerjaan. Pada mulanya ia dan keluarganya menyambut gembira kemenangan SBY/JK yang berjanji melakukan perubahan, tetapi “SBY tidak memperhatikan ekonomi rakyat, ia gagal sama sekali, hanya urus korupsi”.8 Gambar 6.5 Parjo, pengayuh becak yang kini menganggur, bergambar di dalam rumahnya usai wawancara (Photo 28 Mei 2006) Martorejo, 66 tahun, bekerja sebagai pengayuh becak, mengaku tidak punya tempat tinggal. Ia mengatakan, kehidupannya semakin lama bertambah susah. Penghasilannya sebagai pengayuh becak amat minim saat ini. Becak tidak “payu” (tidak laku) sekarang,9 karena mungkin kehidupan ekonomi masyarakat sedang susah, sehingga mereka memilih jalan kaki, atau naik motor yang lebih murah dan cepat. Penghasilannya tiap hari hanya sekitar Rp 5,000, kadang-kadang tidak mendapat uang sama sekali. Ia mengaku kehidupannya bertambah susah di era Reformasi terutama di masa kepemimpinan SBY/JK. Untuk mempertahankan hidup, ia bekerja pada malam hari sebagai penjaga kantor Yayasan Gita Pertiwi (NGO) yang bergerak di bidang Pertanian dan Kehutanan, dengan gaji sebesar Rp 5,000/malam. Gambar 6.6 Martorejo, pengayuh becak, juga penjaga malam di kantor Yayasan Gita Pertiwi Solo. Foto di depan kantor yayasan tersebut ( 25 Mei 2006) Suyadi, 55 tahun, buruh bangunan, bermukim di Blok 5, Kentingan Baru, dengan 5 orang anak, mengaku sangat susah menghidupi keluarga karena sebagai buruh bangunan penghasilannya tidak tetap, kadang-kadang Rp 15,000, ada kalanya Rp 25,000/hari, dan banyak kali tidak ada sama sekali pemasukan (in come). Ia mengatakan, menyesal memilih Partai Demokrat dalam pemilihan umum parlemen, dan memilih SBY/JK dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden karena dalam kampanye mau melakukan perubahan, ternyata perubahan yang terjadi ke arah yang lebih buruk, “apa-apa sekarang mahal, di masa SBY banyak musibah, ekonomi susah”. Ia kecewa, SBY tidak dapat mengatasi kesulitan negara.10 Gambar 6.7 Suyadi, buruh bangunan. Berfoto di dalam rumahnya usai wawancara (27 Mei 2006) Sri Wartini, 51 tahun, bermukim di Blok 6, Kentingan Baru, mengatakan bahwa penghasilannya sebagai penjual makanan kecil rata-rata Rp 5,000/hari, dan suaminya sebagai pengemudi angkutan kota, penghasilannya tidak menetap. Akhir-akhir ini untuk setoran kepada pemilik kendaraan sebesar Rp 50,000/hari tidak sanggup, sehingga harus menanggung kerugian. Akibatnya, kehidupan keluarga mereka sangat berat walau pun hanya dua orang anak. Ia mengatakan “demokrasi tidak ada gunanya kalau ekonomi susah, cari kerja sulit dan harga-harga naik semua”.11 Ungkapan yang sama disampaikan Jamin, 38 tahun, pengayuh becak, yang mempunyai delapan anak. Gambar 6.8 Sri Wartini, pemilik kedai kecil . Foto di depan kedai gubuknya ( 28 Mei 2006). Umiyati, 50 tahun, pekerjaan buruh, bermukim di Blok 1, Kentingan Baru, mengatakan bahwa sebagai orang bodoh ia lebih suka di masa Pak Harto (Orde Baru), apa-apa murah, tidak sukar mencari pekerjaan dan uang ada harganya. Sebagai buruh, gaji bersih (take home pay) Rp 5,000/hari, ditambah penghasilan suami, rata-rata penghasilan mereka berdua Rp 10,000/hari. Ini tidak cukup untuk hidup karena beras sudah naik Rp 4,500/kg, minyak untuk memasak Rp 2,500/liter, sisanya Rp 3,000 untuk beli sayur, tempe, tahu, telur dan lain-lain, sama sekali tidak cukup. Biaya angkutan kota sekali jalan Rp 2,000 sehingga yang namanya Reformasi tidak ada enaknya bagi rakyat kecil.12 Ungkapan keprihatinan yang sama disampaikan Untung Sutrisno, 46 tahun, bermukim di Blok 5 Kentingan Baru, bekerja sebagai kondektur kenderaan umum. Heru Laksmono, 40 tahun, bermukim di Blok 4 Kentingan Baru, pekerjaan sebagai penjual, dan Edy Wahyu, 34 tahun, bermukim di Blok 3 Kentingan Baru, mengaku pekerjaannya macam-macam, ketika diwawancarai, mereka mengatakan bahwa Reformasi tidak ada kebaikannya karena semua serba sulit dalam bidang ekonomi. Hanya Reformasi telah memungkinkan mereka dapat menempati lokasi ini, kalau di masa Orde Baru, mereka sudah lama digusur.13 Gambar 6.9 Untung Sutrisno (paling kanan), Heru Laksmono (tengah) dan Edy (kiri), usai wawancara di depan rumah Untung (5 Juni 2006). Menurut Untung Sutrisno, sebelum SBY keadaan lebih mudah. Kegagalan SBY yang utama adalah dalam pembangunan ekonomi. Menurutnya, yang ditunggu warga adalah pemimpin yang mampu memakmurkan rakyat, bukan seperti sekarang keadaan tambah parah, harga-harga terus naik. Ketika para responden ditanya, mengapa keadaan mereka semakin susah? Mereka umumnya memberi jawaban, akibat harga-harga semua jenis barang keperluan hidup sehari-hari naik menonjol, 14 sementara penghasilan mereka tidak bertambah, bahkan berkurang dan banyak yang kehilangan pekerjaan. Mereka Mengatakan buat apa demokrasi kalau kehidupan semakin susah. Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa rakyat miskin di akar rumput (grass root), sesungguhnya tidak terlalu memerlukan demokrasi politik. Bagi mereka yang utama ialah kehidupan ekonomi berjalan baik, mudah mendapat pekerjaan, harga-harga bahan makanan dan keperluan setiap hari murah, mudah mencari uang, dan sebagainya. Dengan demikian bahawa yang amat diperlukan orang-orang miskin adalah demokrasi ekonomi bukan demokrasi politik. Oleh sebab itu, tantangan di masa depan ialah bagaimana dalam demokrasi politik yang sedang dikembangkan, wujud secara nyata demokrasi ekonomi. Hal itu sangat penting karena dalam demokrasi terdapat persamaan hak, tidak saja untuk memperoleh hak-hak politik, tetapi juga untuk mendapat kehidupan yang layak sebagai salah satu bahagian yang amat diperlukan dalam pengamalan demokrasi. Persoalan demokrasi, bukan hanya kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, tetapi juga kebebasan memperoleh kehidupan yang baik dan layak. Di sinilah pentingnya pembangunan demokrasi di bidang ekonomi di kalangan komunitas miskin. Hal yang menggembirakan bahwa orang-orang miskin, paling tidak mereka yang tinggal di Kentingan Baru, sudah tumbuh kesadaran berpolitik. Mereka cukup paham dan mengerti bagaimana menjamin keselamatan mereka yang tinggal di Kentingan Baru, berkaitan dengan pelaksanaan politik demokrasi. Mereka juga paham jika ada kebijakan pemerintah yang baik dan tidak menguntungkan bagi kepentingan mereka yang miskin. Begitu juga berbagai perkembangan politik, sosial, hukum dan lain-lain di peringkat daerah mau pun nasional. Ini merupakan dampak positif dari demokrasi yang melahirkan kebebasan pers dalam menyampaikan berbagai berita di bidang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. 6.2 Permasalahan pendidikan Tukiman, Sastro, Tuti, Parjo, Martorejo, Suyadi, Sri Wartini, Umiyati, Untung Sutrisno, Heru Laksmono, dan Edy Wahyu. Demikian pula Ngadiran, 47 tahun, Suprapti, 44 tahun, dan Mery, 29 tahun, ketiga-tiganya berprofesi sebagai pengumpul barang-barang bekas, dan Jamin, pengayuh becak; mereka semuanya hanya berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tamat SD, kecuali Tuti dan Wiwiek Tri Setioningsih, keduanya mengaku berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang dialami, telah menjadi budaya yang diwariskan kepada anak-anak mereka. Menurut pengakuan mereka bahwa rata-rata pendidikan anak-anak mereka, hanya tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Riyadi, 58 tahun, purnawirawan TNI yang tinggal di Blok 7, Kentingan Baru, mengatakan bahwa sampai saat ini tidak ada warga Kentingan Baru yang berhasil menamatkan pendidikan sampai di peringkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Pukul rata pendidikan anak-anak di Kentingan Baru, sama dengan pendidikan orang tua mereka yang mayoritas hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Tukiman, yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) mengaku sebagai manusia yang normal, ia ingin sekali menyekolahkan anak-anaknya sampai ke universitas. Apalagi di sebelah tembok bahagian Barat tempat mereka tinggal, terdapat kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), tetapi semua warga yang tinggal di Kentingan Baru, tidak ada satu pun yang belajar di Universitas tersebut.15 Tuti menjelaskan bahwa, sebagai orang tua yang miskin tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Untuk makan saja tidak mencukupi dari penghasilan keluarga, apalagi mau menyekolahkan anak. Untung gereja membantu biaya pendidikan anak-anaknya, sehingga mereka dapat sekolah sebagaimana yang diharapkan. 16 Sastro, pendidikannya Sekolah Teknik (setaraf Junior High School), mempunyai enam orang anak, berkata bahwa anak-anaknya hanya berpendidikan SD, dan ada seorang anaknya sedang mengikuti pendidikan di SMP, tetapi ia tidak tahu apakah dapat selesai. Keinginannya untuk menyekolahkan mereka tidak dapat diwujudkan karena tidak ada biaya. Untuk makan sehari-hari saja sudah susah apa lagi mau menyekolahkan anak.17 Menurut Sastro, yang diperlukan orang-orang miskin bukan demokrasi, tetapi pekerjaan dan penghasilan supaya bisa menyekolahkan anak. Gambar 6.10 Sastro bersama penulis pada saat wawancara di depan rumahnya di Kentingan Baru (27 Mei 2006) Parjo mengatakan bahwa pendidikannya tidak tamat Sekolah Dasar (SD), karena orang tuanya miskin, tidak memungkinkan ia bersekolah. Sekarang ia mempunyai lima anak, tetapi tidak sanggup membiayai mereka untuk bersekolah. Pendidikan anak-anaknya hanya tamat Sekolah Dasar (SD), dan ada satu orang di Sekolah Menengah Pertama (SMP), tetapi ia tidak tahu apakah dapat menyelesaikan atau tidak karena faktor biaya tidak ada. Jamin, 38 tahun, mengaku pendidikannya adalah Sekolah Dasar (SD). Ia mempunyai delapan anak. Dengan penghasilan sekitar Rp 15,000/hari, ditambah penghasilan isterinya mengumpul barang-barang bekas yang tidak seberapa, untuk makan saja tidak cukup, apalagi mau menyokolahkan anak-anaknya. Harapannya, supaya pemerintah memberi perhatian kepada orang-orang kecil, kalau bisa ada beasiswa untuk anak-anak miskin.18 Dari gambaran di atas dapat dikemukakan bahwa pembangunan di era Orde Baru dan era Orde Reformasi, belum mampu memberi pendidikan kepada orang-orang miskin. Walaupun anggaran pendidikan sudah ditingkatkan menjadi 20 persen, tetapi anak-anak miskin, tetap tidak bisa mendapat pendidikan yang baik dan tinggi. Pada hal dalam demokrasi, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberi pendidikan kepada setiap warga negara. 6.3 Permasalahan pekerjaan Pembangunan ekonomi telah mewujudkan berbagai kegiatan perniagaan dan industri, tetapi yang dapat diterima bekerja di sektor tersebut hanya mereka yang mempunyai pendidikan dan kepakaran. Pada hal masih banyak masyarakat yang kurang pendidikan dan tidak mempunyai kepakaran. Mereka itu adalah orang-orang miskin yang sebahagian tinggal di Kentingan Baru Kecamatan Jebres kota Solo. Ada pun kegiatan perniagaan dan industri yang memberi pekerjaan, pada umumnya adalah sektor usaha modern.
Tabel 6.2 Sektor usaha yang memberi peluang pekerjaan NO SEKTOR PEKERJAAN JUMLAH (%) 1 PERTANIAN, KEHUTANAN 0.86 2 PERTAMBANGAN 0.08 3 INDUSTRI PENGOLAHAN 21.41 4 LISTRIK, GAS DAN AIR 0.74 5 BANGUNAN 3.43 6 PERDAGANGAN, RUMAH MAKAN DAN HOTEL 45.69 7 ANGKUTAN, PERGUDANGAN 5.38 8 KEUANGAN, ASURANSI 1.19 9 JASA-JASA LAIN 21.22 JUMLAH 100 Sumber: Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang di publikasikan melalui internet. Dari tabel di atas diketahui bahwa berbagai sektor perniagaan dan industri yang dikembangkan adalah sektor modern, yang hanya memberi pekerjaan kepada mereka yang mempunyai pendidikan dan kepakaran. Pada hal sebahagian besar masyarakat di Solo misalnya, yang disebut “wong cilik” tidak mempunyai pendidikan dan kepakaran. Untuk mendapatkan uang, mereka terpaksa mengusahakan pekerjaan seperti menjadi pengayuh becak, sopir kendaraan, penjaga toko, tukang kayu, penjual makanan, pengumpul barang-barang bekas, pengemis (meminta sekedah) dan segala macam pekerjaan yang dapat memberi penghasilan. Anak-anak miskin yang kehilangan masa depan, sedang disantuni. Keadaan semacam ini, berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti persamaan hak untuk hidup secara layak, sehingga tidak sepatutnya mereka tetap miskin, karena kegiatan perniagaan yang dikembangkan dan diusahakan dapat didorong oleh pemerintah supaya mereka memperoleh peluang untuk maju dan berkembang. Selain itu, pekerjaan yang diusahakan dapat memperoleh hasil yang cukup untuk hidup secara layak, sama ada mereka bekerja kepada pihak lain atau pun mereka mengusahakan sendiri pekerjaan. Tabel 6.3 Jenis Pekerjaan yang Dilakukan “Wong Cilik” No. JENIS KEGIATAN JUMLAH (%) perkiraan 1. Pekerja tani 2.3 2. Pengayuh becak 13.0 3. Pekerja bangunan 7.62. 4. Pekerja di industri 14.16 5. Sopir mobil dan bus 2.7 6. Menjual rokok, minuman dan aneka macam barang 14.0 7. Tambal ban motos dan mobil 1.0 8. Berjualan makanan 9.0 9. Pengumpul barang-barang bekas 4.0 10. Kondektur kenderaan umum 2.0 11. Mengamen dan mengemis di jalan 1.0 12. Dan lain-lain 29.22 JUMLAH 100.% _______________________________________________________ Sumber: BPS-BAPPEDA Kota Surakarta dan hasil penyelidikan di Kentingan Baru, Kecamatan Jebres, Kota Solo. Berbagai jenis pekerjaan dan perniagaan yang dilaksanakan untuk mendapatkan uang, pada umumnya adalah sektor tidak resmi (informal) yang tidak memerlukan pendidikan dan kepakaran, sehingga penghasilan yang diperoleh minim. Adapun kegiatan bertani, hampir tidak dilakukan karena Solo sebagai kota tidak lagi mempunyai tanah untuk usaha pertanian. Bidang usaha yang dapat membuka peluang kerja adalah sektor industri (kilang). Akan tetapi, golongan wong cilik yang kurang berpendidikan dan tidak memiliki kepakaran, tidak terdapat peluang kerja bagi mereka. Oleh karena itu, betapa pun mereka bekerja dengan rajin dan tekun, tetapi pekerjaan dan usaha yang dikerjakan tidak mempunyai peluang untuk memberi penghasilan kepada mereka yang memadai untuk bisa mengangkat harkat, martabat dan penghidupan mereka kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Di sinilah perlunya peranan pemerintah untuk membangun suatu sistem yang mampu melindungi orang-orang miskin, dengan mengamalkan demokrasi ekonomi yang terkontrol, tidak diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Dalam demokrasi, hak-hak golongan miskin untuk hidup secara layak adalah dijamin, dijaga dan dilindungi. 6.4 Kemiskinan dan kelakuan politik Kemiskanan dan kurang pendidikan yang dialami orang-orang miskin, telah mewujudkan kelakuan politik yang spesifik dalam amalan demokrasi. Kelakuan politik yang spesifik, berkait erat dengan upaya mereka untuk mempertahankan hidup (survive). Rachmadi, pegawai Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Surakarta mengatakan bahwa rakyat tidak mau ikut memilih kalau mereka tidak dibayar.19 Sementara itu, Arum Kismaharani, juga pegawai KPUD kota Surakarta mengungkapkan bahwa dalam Pilkada (pemilihan Kepala Daerah) maksudnya pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta, sarat dengan praktik politik uang (money politics).20 Ia menyaksikan, hampir setiap Rukun Warga dan Rukun Tetangga dibahagikan TV (Televisi), dan dalam suasana kampanye dibahagikan sembako, yaitu bahan makanan yang terdiri dari beras, gula, mie dan sebagainya. Wiwiek Tri Setioningsih, Ketua Rukun Warga Kentingan Baru, yang juga Ketua Ranting PDI-P Kentingan Baru, pada mulanya tidak mengakui adanya “money politics” dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta, namun setelah akrab dan larut dalam perbincangan yang panjang, ia mengakui bahwa para calon memberi sumbangan.21 Ketika hal itu ditanyakan kebenarannya kepada Sastro, 77 tahun, demikian pula kepada Tukiman, 63 tahun, dan Riyadi, 58 tahun, ketiganya bermukim di Blok 7 Kentingan Baru Kecamatan Jebres kota Surakarta, mengatakan bahwa dalam pemilihan umum parlemen, pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden ataupun pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surakarta, mereka tidak mendapat bantuan apa-apa dari para calon. Mungkin Ibu Wiwiek mendapat bantuan, tetapi kami tidak memperoleh bantuan apa pun.22 Nampaknya para calon anggota parlemen, calon Presiden/Wakil Presiden, dan calon Walikota/Wakil Walikota memberi bantuan tidak langsung kepada para pemilih (pengundi). Mereka menyalurkan bantuan atau sumbangan melalui orang-orang yang dipercayai di setiap kumpulan, yang dapat disebut sebagai mediator seperti di Kentingan Baru, bantuan/sumbangan para calon diberikan kepada Ibu Wiwiek, tidak langsung kepada para warga yang menjadi pemilih (pengundi). Dalam komunitas miskin, sekurang-kurangnya terbahagi kepada dua bahagian yaitu: i. Orang-orang miskin yang terorganisir, yaitu mereka yang berada dalam satu lokasi, mereka berkumpul, bersatu, dan gotong royong mewujudkan kepentingan bersama. Kumpulan semacam ini, didapati di Kentingan Baru, Kecamatan Jebres, Kota Solo. Mereka pada mulanya tidak terorganisir oleh pemerintah atau pun partai politik, tetapi situasi ekonomi yang memburuk pada awal Reformasi 1998 memaksa mereka mencari tempat tinggal untuk mempertahankan hidup. Maka, ketika mereka berada dalam satu lingkungan, tumbuh kesadaran untuk mempertahankan kepentingan bersama dalam rangka survive of life. Caranya, selain mereka harus bersatu padu, juga mereka mencari perlindungan politik. Oleh karena itu, dalam pemilu parlemen, pemilu Presiden/Wakil Presiden dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota mereka menjalankan politik, yaitu memilih dan mengundi calon yang dapat memberi jaminan perlindungan terhadap keberadaan mereka di lokasi tersebut. Mereka, walau pun miskin tetapi tidak efektif praktik politik uang (money politics) untuk mempengaruhi dan merubah pilihan mereka dalam prmilu. ii. Orang-orang miskin yang tidak terorganisir. Pada umumnya mereka bersebaran di mana-mana, di setiap kelurahan dan kecamatan. Mereka tidak mempunyai organisasi dan tidak ada kepentingan bersama yang mempersatukan mereka untuk diperjuangkan, sehingga yang dominan mempengaruhi mereka dalam kegiatan politik adalah kepentingan jangka pendek. Orang-orang miskin semacam ini, dalam era Orde Reformasi menjadi sasaran para elit politik dalam menggalang sokongan suara dalam pemilu. Untuk mempengaruhi mereka pada umumnya menggunakan politik uang, karena siapa yang mampu memberi uang kepada mereka lebih besar, dialah yang akan dipilih atau diundi dalam pemilu. Selain itu, terdapat pula kelompok kecil dalam masyarakat, yang dominan mempengaruhi mereka dalam kegiatan politik bukan faktor uang, tetapi keyakinan agama. Golongan miskin seperti itu, tidak efektif politik uang untuk mempengaruhi mereka dalam pemilu, tetapi melalui pendekatan agama. Dengan demikian, permasalahan orang-orang miskin dalam partisipasi politik, sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh lima faktor, a. Ideologi, b. Keyakinan agama c. Patron (Gusti), d. Kepentingan material (uang), e. Lingkungan sosial. Martoreja, warga miskin di kota Solo yang setiap malam menjaga kantor Yayasan Gita Pertiwi, mengatakan bahwa setiap pemilu di era Orde Reformasi ia selalu memilih PDI-P. Dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden 2004, putaran pertama dan kedua, ia mengundi Ibu Mega (Megawati Sukarnoputri). Ketika ditanya mengapa ia memilih PDI-P dan Ibu Mega? Ia menjawab bahwa Ibu Mega tidak akan mengkhianati Bung Karno yang memperjuangkan golongan “marhaen/wong cilik”. Ia memilih Ibu Mega dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden dan PDI-P dalam pemilu parlemen, karena kedua-duanya adalah penerus cita-cita perjuangan Bung Karno. Jadi hakikatnya menurut Martorejo, ia memilih Bung Karno.23 Ia juga menolak menerima uang dalam pemilu, karena prinsipnya “tidak mau diajak ke sana ke mari”. Ngadiran, 47 tahun, tinggal di depan Blok I, Kentingan Baru, mengatakan: “Walau pun ia miskin dan hanya bekerja sebagai pengumpul barang-barang bekas, dibantu isterinya dengan penghasilan sekitar Rp 15,000/hari, yang sangat jauh dari mencukupi untuk membiayai hidup lima anaknya, tetapi ia percaya bahwa hal ini merupakan ujian hidup yang harus dihadapi dengan sabar, tabah dan tawakkal”.24 Ia bersyukur karena tidak jauh dari kediamannya telah didirikan sebuah masjid, sehingga ia dapat menjalankan solat berjamaah. Dalam pemilu parlemen, ia mengaku selalu memilih partai politik Islam, sedang dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden 2004, ia dan keluarganya memilih Pak Amien (Prof. Dr. M. Amien Rais). Pada putaran kedua pemilu Presiden/Wakil Presiden, ia dan keluarganya mengundi SBY/JK, sedang dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota, ia dan keluarganya mengundi Pak Purnomo (Achmad Purnomo/Istar Yuliadi) yang dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional. Gambar 6.11 Foto bersama di kamar tidur keluarga Ngadiran. pengumpul barang-barang bekas. Kedua dari kanan Ibu Suprapti, disebelah kiri Mery. . Martorejo yang disebutkan di atas, dapat dikatakan mewakili “wong cilik” dari golongan abangan, sedang Ngadiran, mewakili kelompok “wong cilik” dari golongan santri. Dalam menyalurkan aspirasi politik, mereka berbeda karena dipengaruhi oleh faktor ideologi yang mendominasi diri mereka, yang satu ideologi “Marhaenisme” yang diajarkan oleh Bung Karno, sedang Ngadiran dipengaruhi oleh paham Islam. Kedua orang semacam itu jumlahnya tidak banyak, tetapi ada dalam masyarakat termasuk dalam masyarakat komunitas miskin di Solo. Selain itu, terdapat pula golongan orang-orang miskin yang memilih calon karena dipengaruhi oleh faktor gusti (patron). Sebagai contoh, majoritas warga kota Solo yang tinggal di Kentingan Baru, gusti (patron) mereka adalah PDI-P yang dipimpin Megawati Sukarnoputri. Hal ini terjadi, karena selama era Orde Reformasi, PDI-P telah memberi perlindungan kepada mereka yang tinggal di Kentingan Baru, sehingga secara timbal balik mereka berkewajiban memilih dan mengundi calon-calon PDI-P dalam pemilu parlemen. Begitu pula dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden, mereka memilih Megawati Sukarnoputri, dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota, mereka memilih Joko Widodo/FX Hadi Rudyanto yang dicalonkan PDI-P. Jadi mereka memilih dan mengundi para calon PDI-P, sangat dipengaruhi oleh kepentingan mereka yang mau mendapat perlindungan daripada PDI-P yang dipimpin Megawati, yang mereka jadikan sebagai patron. Dalam praktik politik, pengaruh mediator (perantara) memegang peranan penting. Dalam kasus di Kentingan Baru yang dijadikan lokasi penelitian untuk penulisan buku ini, terjadi penyatuan kepentingan secara timbal balik (simbiosis mutualistik) yaitu warga miskin yang menempati lokasi di Kentingan Baru secara tidak sah, mengharap perlindungan politik kepada para elit politik PDI-P., sementara elit politik PDI-P mengharap sokongan mereka untuk memenangkan pemilu. Kedua-duanya saling memerlukan, dan Wiwiek Tri Setioningsih sebagai Ketua Rukun Warga, dan ketua pengurus Ranting PDI-P di lokasi itu, menjadi petantara (mediator) kepentingan para “kawula” di akar rumput yang menjadi warga Kentingan Baru dan PDI-P sebagai patron yang diwakili para elit politik PDI-P. Mereka bertemu dalam satu kepentingan sehingga mewujudkan soliditas yang kuat untuk memenangkan pemilihan umum. Demi mempertahankan lokasi tempat tinggal, orang-orang miskin di Kentingan Baru, sanggup melakukan tawar-menawar posisi (bargaining position) untuk melindungi kepentingan mereka. Situasi ini telah memberi kesadaran politik bagi mereka untuk berjuang bersama, sehingga membentuk budaya politik yang kuat di kalangan mereka. Gambar: Pengayuh becak di Solo sedang mengantar penumpang Kumpulan orang-orang miskin semacam ini, amat berbeda dengan mayoritas orang-orang miskin yang dikemukakan oleh kedua pegawai KPUD kota Surakarta tersebut, yaitu terdapat kumpulan orang-orang miskin di Solo, yang hanya mau memilih dan mengundi jika dibayar. Golongan orang-orang miskin semacam ini adalah seperti yang dikemukakan Oscar Lewis, mempunyai budaya kemiskinan (the culture of poverty) yang tidak sesuai bagi praktik demokrasi. Akan tetapi, dalam kasus di Kentingan Baru seperti dikemukakan di atas, hal semacam itu tidak ditemukan. Bahkan dapat dikemukakan bahwa untuk mengatasi kesusahan yang dihadapi, mereka dapat membangun budaya politik yang kukuh dan kuat untuk menghadapi tantangan. Kumpulan orang-orang miskin yang hanya mau memilih bila dibayar adalah yang terbesar di Solo. Mereka itu tidak mempunyai ideologi dan prinsip, yang dominan memengaruhi mereka adalah kepentingan material yang bersifat jangka pendek. Kelompok seperti ini, hampir tidak ada yang mengamalkan di perkampungan orang-orang miskin di Kentingan Baru, karena mereka berada dalam tekanan kepentingan, akibat menempati lokasi terlarang, sehingga terpaksa harus mencari perlindungan politik yang dapat melindungi mereka. Di era Orde Reformasi, PDI-P telah menjadi pelindung yang baik bagi mereka, sehingga dibayar atau pun tidak dibayar, mereka umumnya memilih dan mengundi calon PDI-P dalam pemilu. Dalam kasus ini, golongan orang-orang miskin di Kentingan Baru, memberi undi tidak percuma (gratis), tetapi ada yang diharapkan paling tidak dalam dua hal; a. Status mereka sebagai warga di Kentingan Baru Kecamatan Jebres kota Solo supaya dibereskan/diselesaikan, b. Status tanah yang mereka tempati sekarang mendapat kepastian. Harapan mereka sesuai dengan janji Walikota/Wakil Walikota Surakarta sekarang dalam kampanye pemilihan Walikota/Wakil Walikota 2005, yang akan menyelesaikan persoalan mereka, jika keduanya terpilih menjadi Walikota/Wakil Walikota Surakarta. Keadaan semacam ini adalah salah satu bentuk “compromise” antara sekelompok masyarakat sebagai pemilih (pengundi) dengan calon pemimpin yang mengharapkan dukungan suara dari para pemilih. Hal semacam ini, lazim dilakukan dalam praktik demokrasi untuk memperjuangkan aspirasi dan perbaikan nasib. Ini dapat diwujudkan karena ada persatuan dan kesadaran di kalangan orang-orang miskin di Kentigan Baru. Adapun permasalahan lain yang banyak mempengaruhi orang-orang miskin dalam memilih calon ialah lingkungan sosial. Mereka yang miskin dan kurang pendidikan, pada umumnya mudah dipengaruhi oleh lingkungannya. Umiyati, Warga Kentingan Baru misalnya, mengaku sebelum mengundi dalam pemilu selalu melihat-lihat dan mendengar-dengar dari lingkungannya, mereka memilih siapa dan partai apa? Kalau mayoritas memilih seorang calon dan partai tertentu misalnya PDI-P, maka ia ikut memilih calon dan partai tersebut.25 Jadi ia selalu mengikut golongan yang ramai dalam memilih calon dalam pemilu. Perilaku semacam itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, yang menjamin adanya kebebasan dalam memilih (freedom of choice). Akan tetapi, orang-orang miskin yang pada umumnya kurang pendidikan, tidak mempunyai kemampuan untuk menggunakan kebebasan memilih sesuai asas demokrasi yang dimiliki dan dijamin oleh undang-undang, karena terhalang oleh berbagai kelemahan mereka. Walau pun jumlah orang-orang miskin seperti Umiyati tidak banyak di Kentingan Baru, tetapi golongan miskin yang mengamalkan cara semacam itu masih banyak jumlahnya, sehingga para pemimpin partai politik dan para calon (calon anggota parlemen, Presiden/Wakil Presiden dan Kepala Daerah), berusaha mempengaruhi kumpulan masyarakat seperti itu. Dalam negara yang menganut asas demokrasi, adalah wajar partai-partai politik bersaing menguasai media massa untuk mewujudkan kepentingannya. Namun begitu, masyarakat mempunyai kebebasan mengawal media massa dan elektronik dari penguasaan golongan tertentu, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power) dalam pengamalan demokrasi. Dengan demikian, golongan miskin sangat mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang wujud dari luar diri mereka. Penyebabnya, selain kurang pendidikan, mereka juga kurang mendapatkan informasi, sehingga sangat minim pengetahuan mereka tentang visi, misi, dan program dari sebuah partai politik atau pun seorang calon. Ditambah kesusahan hidup yang dialami setiap hari, menyebabkan orang-orang miskin pada umumnya tidak mempunyai prinsip dan kebebasan yang otonom untuk memilih partai politik atau para calon dalam pemilu. Maka siapa saja yang memberi bantuan uang atau makanan kepada mereka pada saat kampanye dan menjelang pemilu, dialah yang akan diundi atau dipilih dalam pemilu. Walau pun begitu, mereka yang tinggal di Kentingan Baru, mencoba mengatasi persoalan yang dihadapi dengan tolong-menolong, mempererat persatuan dan melakukan musyawarah antara mereka untuk mencari pemecahan. Selain itu, tekanan hidup setiap hari yang mereka hadapi, menyebabkan mereka mempunyai sensivitas politik yang tinggi terutama kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi seperti harga keperluan makanan yang tidak terkontrol harganya dan kemerosotan ekonomi. _______________________________________________________ 1 Wiwiek Tri Setioningsih, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 24 Mei. Pada 1999, kumpulan orang-orang miskin di Solo sekadar 450 kepala keluarga secara spontan memasuki lokasi kosong disebelah Timur daripada Universiti Sebelas Maret (UNS). Oleh kerana lokasi tersebut hanya mampu menampung 300 kepala keluarga, maka dilakukan musyawarah dan dicapai kata sepakat bahwa siapa di antara mereka yang kena undi, boleh menempati lokasi tersebut yang sekarang jumlahnya sekadar 300 kepala keluarga yang menempati lokasi itu. 2 Ibid. Krisis keuangan di Asia Tenggara 1997, impaknya sangat dirasakan Indonesia sehingga terjadi Reformasi 1998, yang memaksa Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 setelah berkuasa 32 tahun. Krisis keuangan Indonesia yang berterusan dengan krisis ekonomi, mengakibatkan kemerosotan ekonomi yang luar biasa. Orang-orang miskin yang berada di Solo, termasuk yang amat menderita sehingga mereka mencari tanah kosong di Kota Solo untuk ditempati. Mereka menemukan tanah kosong di bahagian Timur Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan sebelah Barat dari Sungai Bengawan Solo. 3 Wiwiek Tri Setioningsih, Demokrasi dan Permasalahan Komuniti Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Temu Bual, Solo, 2006, 24 Mei. 4 Menurut Wiwiek, Tuti, Sastro, Tukiman, Riyadi, Parjo dan lain-lain bahwa kemenangan pasangan Joko Widodo dengan FX. Hadi Rudyatmo dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota 2005 yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), berarti kemenangan mereka juga, karena aktif menyokong dan berkempen untuk memenangkan mereka. 5 Tuti, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 25 Mei 6 Tukiman, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 26 Mei. Pada saat wawancara ikut pula Sastro dan Riyadi. Ketiga-tiganya bermukim di perkampungan golongan miskin di Kentingan Baru, Kecamatan Jebres, Solo. Mereka menyampaikan kesusahan ekonomi yang mereka alami. Kesusahan itu meningkat sekali pada era kepeimpinan SBY/JK (Susilo Bambang Yudhoyono/Muhammad Jusuf Kalla) karena semua jenis barang untuk keperluan hidup harga-harganya meningkat secara tajam. 7 Ibid. 8 Parjo, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 28 Mei. 9 Martorejo, Demokrasi dan Permasalahan Komunitias Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 2 Juni. Wawancara dilaksanakan pagi hari di halaman kantor Yayasan Gita Pertiwi, sewaktu pegawai belum hadir untuk bekerja. Martorejo setiap malam menjaga kantor tersebut dengan gaji Rp 5.000/malam. 10 Suyadi, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 3 Juni. Pada saat wawancara, dia mengemukakan rasa kecewa yang mendalam kepada SBY yang tidak peduli kepada orang kecil (wong cilik). Pada hal dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden 2004, dia dan keluarganya memilih SBY/JK karena janji beliau dalam kampanye akan melakukan perubahan, ternyata perubahan ke arah yang lebih susah. SBY menurut Suyadi tidak melakukan apa yang dijanjikan. Ia gagal sama sekali dalam membangun ekonomi. 11 Sri Wartini, Demokrasi dan Permasalahan Komuniti Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 1 Juni. Sewaktu wawancara di kedainya, ia berkali-kali menangis ketika menyampaikan rasa susah yang dialami keluarganya, akibat naiknya berbagai keperluan hidup. Suaminya yang menjadi sopir mobil angkutan kota, sejak bensin dinaikkan pemerintah 125 persen, ia selalu rugi dan tidak dapat membayar uang setoran kepada pemilik mobil sekedar Rp 50,000/hari. 12 Umiyati, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, 2006, 29 Mei. Di sela-sela wawancara, ia memberi makan nasi kepada anak perempuannya yang baru berumur 5 tahun yang menangis karena lapar. Ia memberi makan nasi dengan satu potong kecil telur ayam. Menurutnya, dengan penghasilan bersih setiap hari sekadar Rp10,000/hari sangat jauh dari mencukupi, karena beras sudah naik menjadi Rp 4,500/kg , minyak tanah untuk memasak Rp 2,500/liter. Sisanya Rp 3,000 apa yang dapat dibeli dengan uang sebesar itu. Sembari keluar air mata, ia bercerita kesusahan yang dialami keluarganya. 13 Untung, Heru dan Edy, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 29 Mei. Ketika ditemui dan diajak wawancara, baru saja mereka minum arak (minuman keras). Mereka tidak mabuk, dan menurut mereka sudah biasa minum semacam itu untuk menghilangkan rasa penat. 14 Untung, Heru dan Edy, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 29 Mei.. 15 Tukiman, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 27 Mei 16 Tuti, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformais, Wawancara, Solo, 2006, 29 Mei. 17 Sastro, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 27 Mei. 18 Jamin, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 3 Juni. Jamin mengatakan bahwa ia mempunyai delapan anak. Dengan penghasilan sebagai pengayuh becak, untuk makan saja sudah susah apalagi untuk menyekolahkan anak. Ia berharap supaya pemerintah memberi perhatian terhadap perbaikan ekonomi orang kecil dan memberi beasiswa kepada anak-anak miskin untuk merubah nasib mereka. 19 Rachmadi, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 4 Juni. 20 Arum Kismaharani, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin dalam Era Reformais, Wawancara, Solo, 2006, 4 Juni. Ia menjelaskan bahwa pimilihan Kepada Daerah baru wujud secara prosedural. Dalam pelaksanaannya penuh dengan praktik politik wang. Ia melihat sendiri pembahagian makanan (sembako) kepada golongan miskin pada saat kampanye pemilu dan menjelang pelaksanaan pemilu. Arum Kismaharani mengatakan ketika wawancara di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Surakarta. 21 Wiwiek Tri Setioningsih, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 24 Juni. 22 Untung, Heru dan Edy, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 29 Mei 23 Martorejo, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 2 Juni mengaku sebagai penganut ideologi Marhaenisme. Walau pun ia msikin dan kurang pendidikan, tetapi tidak mau menerima uang pada saat kampanye dan menjelang pemilu karena takut dibawa ke mana-mana. Dalam menyalurkan aspirasi politik ia sangat fanatik kepada Bungkarno, sehingga memilih Megawati sama dengan memilih Bungkarno. 24 Ngadiran, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Reformasi, Wawancara, Solo, 2006, 26 Mei. 25 Umiyati, Demokrasi dan Permasalahan Komunitas Miskin di Solo dalam Era Refromasi, Wawancara, Solo, 2006, 29 Mei. Dalam memilih partai politik, calon Presiden/Wakil Presiden, dia tidak mempunyai prinsip, karena kurang pendidikan dan miskin, maka ia lebih banyak ikut yang ramai, memilih yang dipilih oleh orang ramai. Namun begitu, siapa yang memberi uang, itulah yang akan dipilih dalam pemilu. Masyarakat miskin di Solo, pada umumnya mengamalkan seperti Umiyati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het geschil van de agrarische wetgeving in Indonesië dat van invloed is op de zaak van het landgeschil Gevallen die hebben plaatsgevonden tussen de regering en de kleine mensen (zoals de rechtszaak over landgeschillen in Kentingan Baru, Surakarta)

Landrechtelijk beleid in Indonesië van tijd tot tijd   Geschreven door: Dr.KPH.Adip.Praboewidjojo, SH, MH   1. Agrarisch beleid • Agrarisch beleid in Indonesië kan niet los worden gezien van de geschiedenis van de Indonesische natie. Daarom wordt bij de presentatie van het agrarisch beleid gebruik gemaakt van een chronologische benadering met opsporing uit de Nederlandse koloniale periode in Indonesië. Om begrip mogelijk te maken, wordt de blootstelling verdeeld volgens de periode na de politieke veranderingen die plaatsvinden in de geschiedenis van onze natie, aangezien beleid een politiek product is.   2. Koloniale periode • In de dagen van de Nederlandse koloniale overheid werd het agrarische beleid geïntroduceerd dat bekend staat als Agrarische Wet 1870 in Nederlands-Indië. De landbouwwet van 1870 opende toen de deur voor de toetreding van groot buitenlands privaat kapitaal, met name Nederland tot Indonesië, en een groot aantal grote landgoederen in Java en Sumatera wer

Relatie Heer Koesen of Colonel BKPH.Poerbodiningrat met de Oorsprong van Kampong Djebres naam die later in Desa Djebres veranderd in 1882 (Kaitannya Heer Koesen atau Kolonel BKPH.Poerbodiningrat dengan Asal Usul Nama Kampong Djebres yang nantinya berubah menjadi Desa Djebres pada tahun 1882)

Geschiedenis Kademangan Djebres, vóór 1825 , tot Heer Koesen eigenaar van Desa Djebres  jaar 1882 .  Er is een koninkrijk van het Pajang Sultanaat dat Koninkrijk is op Java als continuïteit van het Demak koninkrijk van Bintoro, een kort verhaal van het Sultanaat van Pajang op een dag vond er een opvolgingsgebeurtenis van Pajang's troon plaats tussen Pangeran Benawa of ook Pangeran Praboewidjojo die Ndalem Kepangeranan in Kampong Sala hebben (nu is de naam veranderd in Kademangan Djebres, Kampong Djebres en vervolgens Desa Djebres , dat zich in de buurt van de Campus UNS tot het subdistrict Jebres bevindt). Laweyan genoemd). En opvolging gewonnen door Ngabehi Loring Market of vaak Panembahan Senapati R, Danang Sutowidjojo. Er wordt gezegd dat in Kampong Sala of Kademangan Sala dit de plaats is van zijn basiskamp Soldiers Telik Sandi (intelligence .red) Pajang Sultanate tot de era Mataram Islam Kuta Gede vervolgens Mataram in Karta veranderde, daarna veranderde in